Sabtu, 09 April 2011

Dijamin nangis baca ini

Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat
terpencil. Hari demi hari, orang
tuaku membajak tanah kering
kuning, dan punggung mereka
menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga
tahun lebih muda dariku. Suatu
ketika, untuk membeli sebuah
sapu tangan yang mana semua
gadis di sekelilingku kelihatannya
membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah
segera menyadarinya. Beliau
membuat adikku dan aku
berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk
berbicara. Ayah tidak mendengar
siapa pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan, "Baiklah, kalau
begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu
itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku
mencengkeram tangannya dan
berkata, "Ayah, aku yang
melakukannya!" Tongkat panjang itu
menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu
marahnya sehingga ia terus-
menerus mencambukinya sampai
Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas
ranjang batu bata kami dan
memarahi, "Kamu sudah belajar
mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan
kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul
sampai mati! Kamu pencuri tidak
tahu malu!" Malam itu, ibu dan
aku memeluk adikku dalam
pelukan kami. Tubuhnya penuh
dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.
Di pertengahan malam itu, saya
tiba-tiba mulai menangis
meraung-raung. Adikku menutup
mulutku dengan tangan kecilnya
dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang.
Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku
karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang
adikku ketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku berusia 8
tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun
terakhirnya di SMP, ia lulus
untuk masuk ke SMA di pusat
kabupaten. Pada saat yang
sama, saya diterima untuk masuk
ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di
halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi
bungkus.
Saya mendengarnya
memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu
baik... hasil yang begitu baik..." Ibu
mengusap air matanya yang
mengalir dan menghela nafas,
"Apa gunanya? Bagaimana
mungkin kita bisa membiayai keduanya
sekaligus?" Saat itu juga, adikku
berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, "Ayah, saya tidak
mau melanjutkan sekolah lagi,
telah cukup membaca banyak buku. " Ayah mengayunkan
tangannya dan memukul adikku
pada wajahnya. "Mengapa kau
mempunyai jiwa yang begitu
keparat lemahnya? Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!" Dan begitu
kemudian ia mengetuk setiap
rumah di dusun itu untuk
meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku
bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya; kalau
tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan
ini." Aku, sebaliknya, telah
memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.Siapa
sangka keesokan harinya,
sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan
sedikit kacang yang sudah
mengering. Dia menyelinap ke
samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di
atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya
akan pergi mencari kerja dan
mengirimimu uang." Aku
memegang kertas tersebut di
atas tempat tidurku, dan
menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku
hilang. Tahun itu, adikku berusia
17 tahun. Aku 20. Dengan uang
yang ayahku pinjam dari seluruh
dusun, dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di
kamarku, ketika teman
sekamarku masuk dan
memberitahukan, "Ada seorang
penduduk dusun menunggumu di
luar sana! "Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku
berjalan keluar, dan melihat
adikku dari jauh, seluruh
badannya kotor tertutup debu
semen dan pasir. Aku
menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman
sekamarku kamu
adalah adikku?" Dia menjawab,
tersenyum, "Lihat bagaimana
penampilanku. Apa yang akan
mereka pikir jika mereka tahu saya
adalah adikmu? Apa mereka
tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air
mata memenuhi mataku. Aku
menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat
dalam kata-kataku, "Aku tidak
perduli omongan siapa pun! Kamu
adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana
pun penampilanmu..." Dari
sakunya, ia mengeluarkan
sebuah jepit rambut berbentuk
kupu-kupu. Ia memakaikannya
kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat
semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus
memiliki satu." Aku tidak dapat
menahan diri lebih lama lagi. Aku
menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia
20. Aku 23. Kali pertama aku membawa
pacarku ke rumah, kaca jendela
yang pecah telah diganti, dan
kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu banyak
waktu untuk membersihkan
rumah kita!" Tetapi katanya, sambil
tersenyum, "Itu adalah adikmu
yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka pada
tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru
itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan
kecil adikku. Melihat mukanya
yang kurus, seratus jarum
terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan
mebalut lukanya. "Apakah itu
sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu
tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap
waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata
mengalir deras turun ke
wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia
26. Ketika aku menikah, aku tinggal
di kota. Banyak kali suamiku dan
aku mengundang orang tuaku
untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan
dusun, mereka tidak akan tahu
harus mengerjakan apa. Adikku
tidak setuju juga, mengatakan,
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya
akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur
pabriknya. Kami menginginkan
adikku mendapatkan pekerjaan
sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan. Tetapi
adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja
sebagai pekerja reparasi. Suatu
hari, adikku di atas sebuah
tangga untuk memperbaiki
sebuah kabel, ketika ia
mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan
aku pergi menjenguknya. Melihat
gips putih pada kakinya, saya
menggerutu, "Mengapa kamu
menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yang begitu
serius. Mengapa kamu tidak mau
mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius
pada wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan kakak
ipar--ia baru saja jadi direktur,
dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita
seperti apa yang akan
dikirimkan?" Mata suamiku
dipenuhi air mata, dan kemudian
keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena
aku!"
"Mengapa membicarakan masa
lalu?" Adikku menggenggam
tanganku. Tahun itu, ia berusia
26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi
seorang gadis petani dari dusun
itu. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan
itu bertanya kepadanya, "Siapa
yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia
menjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan
menceritakan kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak dapat
kuingat. "Ketika saya pergi
sekolah SD, ia berada pada
dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi ke
sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, saya kehilangan satu
dari sarung tanganku. Kakakku
memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai
satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya
bersumpah, selama saya masih
hidup, saya akan menjaga
kakakku dan baik kepadanya." Tepuk tangan membanjiri
ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu
susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih
adalah adikku." Dan dalam
kesempatan yang paling
berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air
mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar