Jumat, 08 April 2011

Restu (Kania dan Kamila)

25 tahun yang lalu,
Inikah nasib? Terlahir sebagai
menantu bukan pilihan. Tapi aku
dan Kania harus tetap menikah.
Itu sebabnya kami ada di Kantor
Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit,
prosesi pernikahan kami selesai.
Tanpa sungkem dan tabur
melati atau hidangan istimewa
dan salam sejahtera dari
kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan
Naila mau hadir menjadi saksi.
Umurku sudah menginjak
seperempat abad dan Kania di
bawahku. Cita-cita kami
sederhana, ingin hidup bahagia. 22 tahun yang lalu,
pekerjaanku tidak begitu elit,
tapi cukup untuk biaya makan
keluargaku. Ya, keluargaku.
Karena sekarang aku sudah
punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap
ia bisa menjadi perempuan
sempurna, maksudku kaya akan
budi baik hingga dia tampak
sempurna. Kulitnya masih merah,
mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia
tak dijenguk kakek-neneknya
dan aku merasa prihatin. Aku
harus bisa terima nasib kembali,
orangtuaku dan orangtua Kania
tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk
memaksa dan aku tidak
membenci mereka. Aku hanya
yakin, suatu saat nanti, mereka
pasti akan berubah. 19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia
sekarang sedang senang
berlari-lari, melompat-lompat
atau meloncat dari meja ke
kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak "Horeee, Iya
bisa terbang". Begitulah dia
memanggil namanya sendiri, Iya.
Kembang senyumnya selalu
merekah seperti mawar di pot
halaman rumah. Dan Kania tak jarang berteriak, "Iya
sayaaang," jika sudah terdengar
suara "Prang". Itu artinya, ada
yang pecah, bisa vas bunga,
gelas, piring, atau meja kaca.
Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat
dari
tempat tidur ke lantai, boneka
kayu yang dipegangnya
terpental. Dan dia cuma
bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?" 18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku
sengaja pulang lebih awal dari
pekerjaanku agar bisa membeli
hadiah dulu. Kemarin lalu dia
merengek minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena
tak mau anaknya jadi tomboy
apalagi jadi pemain bola seperti
yang sering diucapkannya. "Nanti
kalau sudah besar, Iya mau jadi
pemain bola!" tapi aku tidak suka dia menangis terus minta
bola, makanya kubelikan ia
sebuah bola. Paling tidak aku
bisa punya lawan main setiap
sabtu sore. Dan seperti yang
sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan
bola itu. "Horee, Iya jadi pemain
bola." 17 Tahun yang lalu,
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang
jangan main bola di jalan.
Mainnya di rumah aja. Coba
kalau ia nurut, Bapak kan tidak
akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu
Iya menyembunyikan bola di tas
sekolahnya. Yang aku tahu, hari
itu hari sabtu dan aku akan
menjemputnyanya dari sekolah.
Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan
pulang dari sekolah dan ia
semakin ketengah jalan. Aku
berlari menghampirinya, rasa
khawatirku mengalahkan kehati-
hatianku dan "Iyaaaa". Sebuah truk pasir telak menghantam
tubuhku, lindasan ban besarnya
berhenti di atas dua kakiku.
Waktu aku sadar, dua kakiku
sudah diamputasi. Ya Tuhan,
bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku,
tanpa kaki, bagaimana aku
bekerja sementara pekerjaanku
mengantar barang dari
perusahaan ke rumah konsumen.
Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau
kamu tak belikan ia bola!" 15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit
setelah kecelakaan. Uang
pesangon habis untuk ke rumah
sakit dan uang tabungan
menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya
mulai banyak dibentak. Aku
hanya bisa membelainya. Dan
bilang kalau Mamanya sedang
sakit kepala makanya cepat
marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku
tak bisa berkata apa-apa
waktu Kania hendak mencari ke
luar negeri. Dia ingin penghasilan
yang lebih besar untuk
mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia
akan tetap pergi. Begitu
katanya. Dan akhirnya dia
memang pergi ke Malaysia. 13 tahun yang lalu,
Setahun sejak kepergian Kania,
keuangan rumahku sedikit
membaik tapi itu hanya setahun.
Setelah itu tak terdengar kabar
lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP.
Anakku memang pintar dia
loncat satu tahun di SD-nya.
Dengan segala keprihatinan
kupaksakan agar Kamila bisa
melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan
pekerjaan yang bisa kukerjakan
dengan dua tanganku. Aku miris,
menghadapi kenyataan.
Menyaksikan anakku yang
tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya.
Tapi keadaanku mengurungnya
dalam segala kekurangan. Tapi
aku harus kuat. Aku harus
tabah untuk mengajari Kamila
hidup tegar. 10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga
sering mengejek kecacatanku.
Dan Kamila hanya sanggup
berlari ke dalam rumah lalu
sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan
teman sebayanya. Anakku
cantik, seperti ibunya. "Biar
cantik kalo kere ya kelaut aje."
Mungkin itu kata-kata yang
sering kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah
walau tak urung menangis juga.
"Sabar ya, Nak!" hiburku. "Pak,
Iya pake jilbab aja ya, biar tidak
diganggu!" pintanya padaku. Dan
aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang
sanggup kupendam dalam hatiku.
Sejak hari itu, anakku tak
pernah lepas dari kerudungnya.
Dan aku bahagia. Anakku,
ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum
padaku. Dia tidak pernah
menunjukkan kekecewaannya
padaku karena sekolahnya
hanya terlambat di bangku SMP. 7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian.
Ingatanku tentang Kania, istriku,
kembali menemui pikiranku.
Sudah bertahun-tahun tak
kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku
sendiri, jika aku masih
menyimpan rindu untuknya. Dan
itu pula yang membuat aku
takut. Semalam Kamila bilang dia
ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan
di sini yang cuma lulusan SMP.
Haruskah aku melepasnya
karena alasan ekonomi. Dia
bilang aku sudah tua, tenagaku
mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji
akan rajin mengirimi aku uang
dan menabung untuk modal.
Setelah itu dia akan pulang,
menemaniku kembali dan
membuka usaha kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun
aku tak kuasa
untuk menghalanginya. Aku
hanya berdoa agar Kamilaku
baik-baik saja. 4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat
mengirimi aku uang. Hampir tiga
tahun dia di sana. Dia
bekerja sebagai seorang
pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka
dengan laki-laki yang disebutnya
datuk. Matanya tak pernah
siratkan sinar baik. Dia juga
dikenal suka perempuan. Dan
nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia
sudah ingin pulang. Karena
akhir-akhir ini dia sering
diganggu. Lebaran tahun ini dia
akan berhenti bekerja. Itu yang
kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan
selalu menunggu hingga masa itu
tiba. Kamila bilang, aku jangan
pernah lupa salat dan kalau
kondisiku sedang baik usahakan
untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa
sunnah yang pasti setiap bulan
Ramadhan aku harus berusaha
sebisa mungkin untuk kuat
hingga beduk manghrib berbunyi.
Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan
aku bangga. 3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat
surat dari kepolisian
pemerintahan Malaysia,
kabarnya anakku ditahan. Dan
dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh
suami majikannya. Sesak dadaku
mendapat kabar ini. Aku
menangis, aku tak percaya.
Kamilaku yang lemah lembut tak
mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh.
Aku meminta bantuan hukum
dari Indonesia untuk
menyelamatkan anakku dari
maut. Hampir setahun aku
gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras
dan airmataku habis. Aku hanya
bisa memohon agar anakku
tidak dihukum mati andai dia
memang bersalah. 2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga,
anakku terbukti bersalah. Dan
dia harus menjalani hukuman
gantung sebagai balasannya.
Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku
tak izinkan dia pergi apakah
nasibnya tak akan seburuk ini?
Andai aku tak belikan ia bola
apakah keadaanku pasti lebih
baik? Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku.
Atas permintaan anakku aku
dijemput terbang ke Malaysia.
Anakku ingin aku ada di sisinya
disaat terakhirnya. Lihatlah, dia
kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin
rasanya aku berlari tapi apa
daya kakiku tak ada. Aku masuk
ke dalam ruangan pertemuan
itu, dia berhambur ke arahku,
memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
"Bapak, Iya Takut!" aku
memeluknya lebih erat lagi.
Andai bisa ditukar, aku
ingin menggantikannya.
"Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"
"Lelaki tua itu ingin Iya tidur
dengannya, Pak. Iya tidak mau.
Iya dipukulnya. Iya takut, Iya
dorong dan dia jatuh dari
jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!" Aku perih
mendengar itu. Aku iba dengan
nasib anakku. Masa mudanya
hilang begitu saja. Tapi aku bisa
apa, istri keempat lelaki tua itu
menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga
orang terhormat. Aku sudah
berusaha untuk memohon
keringanan bagi anakku, tapi
menemuiku pun ia tidak mau.
Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk
memohon hukuman pada wanita
itu. 2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum
gantung. Dan wanita itu akan
hadir melihatnya. Aku
mendengar dari petugas jika dia
sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin
melihatnya. Aku melihat isyarat
tangan dari hakim di sana.
Petugas itu membuka papan
yang diinjak anakku. Dan 'blass"
Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah
yakin sudah mati, jenazah
anakku diturunkan mereka, aku
mendengar langkah kaki menuju
jenazah anakku. Dia menyibak
kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan
kepalaku, dan dengan mataku
yang samar oleh air mata aku
melihat garis wajah yang
kukenal.
"Kania?" "Mas Har, kau ... !"
"Kau ... kau bunuh anakmu
sendiri, Kania!"
"Iya ? Dia..dia . Iya ?" serunya
getir menunjuk jenazah anakku.
"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah
besar."
"Tidak ... tidaaak ... " Kania
berlari ke arah jenazah anakku.
Diguncang tubuh kaku itu sambil
menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan
memberikan secarik kertas yang
tergenggam di tangannya waktu
dia diturunkan dari tiang
gantungan. Bunyinya "Terima
kasih Mama." Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah
tahu wanita itu ibunya. Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi
apakah dia masih istriku. Yang
aku tahu, aku belum pernah
menceraikannya. Terakhir
kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan
di samping kuburan anakku,
Kamila. Kata pembantu yang
mengantarkan jenazahnya
padaku, dia sering berteriak,
"Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania,
kali ini yang pecah adalah
hatiku. Mungkin orang tua kita
memang benar, tak seharusnya
kita menikah. Agar tak ada
kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah begitu Iya
sayang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar